JAKARTA, NETRALNEWS.COM – Kekayaan budaya Nusantara tak hanya tersirat dari benda karya manusia. Budaya luhur juga bisa ditelusuri dari kisah rakyat yang menghidupi tata nilai kehidupan sehari-hari.
Menukil budaya tutur masyarakat Kalimantan Tengah dalam buku Cerita Rakyat Kalimantan Tengah (1982: 71-74) yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ada satu kisah menarik tentang pengorbanan seorang Putri agar rakyatnya mendapatkan berkah.
Dikisahkan bahwa dahulu kala, di sebuah desa yang bernama Tanah Lingo di Pulau Kalimantan telah terjadi kemarau yang sangat lama. Hutan kekeringan. Bibit yang ditanam gagal tumbuh. Sungai mengering.
Sementara itu, terik matahari terus-menerus membakar semua yang ada di permukaan bumi. Bahaya kelaparan mengancam penduduk desa. Di mana-mana muncul percakapan tentang kondisi yang mereka alami dan berusaha mengatasinya.
Dalam keadaan yang serba membingungkan itu, pimpinan tertinggi di desa yakni seorang Datu bernama Beritu Taun, mengumpulkan semua warga. Menurut sang Datu, kondisi alam yang mengancam disebabkan karena banyak manusia telah melanggar larangan-larangan para leluhur.
Datu menyebutkan dosa yang menjadi penyebab hukuman antara lain karena akibat terlalu banyak pemuda bebas memadu kasih tanpa perkawinan yang sah antara jejaka dengan gadis-gadis, merajalelanya permusuhan karena hanya perkara sepele, dan sebagainya.
Demikian besar dosa yang telah dilakukan oleh penduduk, sehingga untuk mendapatkan mengembalikan kondisi, menurut Sang Datu, haruslah ada salah seorang di antara mereka yang rela mengorbankan jiwa nya, mengalirkan darah di atas bumi yang kering ini.
Permintaan yang demikian ini sangat mengejutkan warga desa. Ada yang memikirkan siapa yang mesti dijadikan korban. Ada pula yang menyalahkan satu sama lainkarena telah melakukan perbuatan dosa.
Namun, tak satu pun yang berani menyatakan bersedia menjadi korban persembahan. Tiada seorang pun di antara mereka yang berani menebus dosa meski telah melakukan perbuatan dosa.
Segolongan orang-orang tua menyerahkan agar diadakan undian saja, siapa-siapa di antara penduduk yang dikehendaki oleh leluhur untuk menjadi korban.
Pendapat ini kemudian ditentang oleh yang lain, karena kalau yang demikian itu sampai berlaku, maka berarti bahwa pengorbanan itu bukanlah atas dasar kerelaan hati yang betul-betul timbul dari keinginan yang suci untuk berkorban demi kepentingan orang banyak.
Sebagian lagi hanya diam bahkan ada yang masa bodoh dengan keadaan yang demikian itu. Mereka yang masa bodoh mengatakan bahwa biarkanlah para leluhur berbuat sekehendak hatinya, sampai leluhur itu sendiri puas atau jemu dengan keadaan demikian.
Pendapat seperti itu sangat disayangkan oleh Beritu Taun, mengapa sampai begitu enggan para penduduk untuk berkorban, sedangkan pengorbanan itu adalah untuk orang banyak yang sebenarnya juga untuk menutupi kesalahan mereka sendiri?
Mengapa sampai hilang sifat-sifat kepahlawanan dari mereka yang telah diwariskan oleh leluhur, hingga para penduduk hanya berani berbuat tetapi tidak berani menanggung akibatnya?
Tiba-tiba, tampillah seorang gadis remaja. Ia ternyata adalah Putri Liung, sang perawan anak Baritu Taun sendiri. Tak diduga, ia menyatakan bahwa ia sanggup dan rela mengorbankan jiwanya sebagai tebusan dosa-dosa yang selama ini diperbuat oleh manusia.
Semua warga terkejut termasuk Sang Datu. Para famili raja yang lain menganjurkan agar permintaan itu jangan dikabulkan dahulu karena barangkali nanti akan datang juga orang lain yang rela untuk berkorban.
Menghadapi kenyataan ini, maka timbullah pertentangan di dalam batin Baritu Taun, antara menyetujui atau tidak. Putri Liung adalah dara cantik jelita yang sangat di sayanginya. Tetapi selaku kepala desa, berat pula baginya untuk menolaknya mengingat pernyataan sang putri disampaikan di depan warga.
Nama baiknya akan tercoreng jika ia tidak mengabulkanya hanya karena Putri Liung adalah anaknya sediri dan mengharap ada warga desa yang menggantinya.
Dalam pada itu isteri Baritu Taun pun senantiasa mendesak agar permintaan sang Putri itu jangan dikabulkan. Tetapi rupanya perrnintaan Putri Liung itu adalah keputusan yang tidak dapat lagi dihalangi oleh siapapun juga.
Akhirnya, Baritu Taun tampil ke depan dan mengumumkan bahwa leluhur telah menghendaki pengorbanan anaknya senidri dan oleh karena itu hendaklah diterima dengan penuh ketenangan.
Para hadirin sangat terharu dengan keputusan Sang Datu. Dua orang petugas segera dipersiapkan untuk melaksanakan pengorbanan Putri Liung dan kemudian dibawa ke luar kota dengan diiringi orang banyak.
Di sebuah lapangan terbuka di mana upacara akan dilangsung kan, berjejal-jejallah penduduk yang akan menyaksikan upacara. Di tengah-tengah lapangan telah berdiri tegak Putri Liung dengan pakaian upacara serba lengkap.
Kedua algojo kemudian maju ke muka menjalankan tugasnya, dan tiada lama kemudian darah pun menyemburlah keluar menyirami tanah yang ada di sekitarnya. Tiada terdengar jeritan sedikit pun dari Putri Liung, wajahnya tetap berseri-seri, sedangkan badannya ambruk di atas pangkuan ibu pertiwi.
Para leluhur menerima arwah sang putri. Orang banyak menutup mata dengan air mata berlinang. Tiba-tiba kilat menyambar sambung-menyambung dan awan gelap berdatangan. Hujan turun dengan lebatnya.
Semalaman hujan turun tiada berhenti. Rupanya para leluhur telah mengampuni dosa penduduk bumi dengan adanya pengorbanan Putri Liung itu.
Keesokan harinya, alam kembali cerah. Bibit tanaman mulai tumbuh. Penduduk desa mengucap syukur. Berkah air kembali melimpah berkat pengorbanan sang putri.Tanaman padi kembali tumbuh subur. Ketika butir-butir padi mulai menguning, warga teringat akan sang putri.
Sejak saat itu, penduduk selalu mengenang tumbuhan padi sebagai perwujudan Putri Liung. Arwah Putri Liung sendiri dianggap telah menjelma pada butir-butir padi dan dinyatakan sebagai dewi pertanian.